Menunggu Lahirnya UU Kewarganegaraan yang Lebih Jelas
[Opini]
Oleh Didik Kusbiantoro
BEBERAPA waktu lalu, pebulutangkis asal Malang, Jawa Timur dan mantan juara dunia, Hendrawan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terkesima dan terharu, bukan karena prestasinya tapi karena kasus status kewarganegaraan yang dihadapinya.
Sekian lama mengurus status kewarganegaraan, pebulutangkis yang menjadi penentu kemenangan tim Piala Thomas Indonesia atas Malaysia di Ghuangzou China itu tidak juga mendapatkan haknya, kendati jalur birokrasi telah dilaluinya.
Kabar kesulitan yang dialami Wawan (panggilan akrab Hendrawan) sempat didengar Presiden Megawati Soekarnoputri yang sedikit berang dan kemudian memerintahkan para bawahannya menyelesaikan masalah tersebut.
Hanya dalam waktu satu hari setelah perintah orang nomer satu di Indonesia itu turun, status kewarganegaraan Hendrawan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) selesai.
Kasus kesulitan memperoleh status kewarganegaraan yang dialami Hendrawan merupakan salah satu dari banyak kasus yang dialami warga lainnya, terutama etnis Tionghoa.
Meski mereka sudah puluhan tahun, bahkan nenek moyangnya tinggal di Indonesia, namun hak memperoleh status WNI agaknya masih sulit didapat.
Beruntunglah Hendrawan yang memiliki prestasi bulutangkis luar biasa dan beberapa kali mengharumkan nama bangsa di pentas internasional, sehingga mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk mengurus status WNI-nya--kendati sebelumnya juga berbelit-belit.
Lalu bagaimana dengan warga etnis Tionghoa lainnya yang tidak memiliki kelebihan seperti Hendrawan, tentu harus rela melalui jalur birokrasi yang panjang sebelum memperoleh pengakuan sebagai WNI.
Dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan di Surabaya, Senin (4/11), masalah status kewarganegaraan menjadi topik pembicaraan yang serius menyusul rencana disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan.
Henry Darmawan, salah seorang peserta seminar sempat mengungkapkan kembali kasus kesulitan memperoleh SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang dialami Hendrawan akibat tidak beresnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
"Masak orang seperti Hendrawan yang telah mati-matian membela nama Indonesia di berbagai kejuaraan bulutangkis, masih diragukan kewarganegaraannya dan dimintai SBKRI," katanya.
Aturan lama
Masalah kesulitan memperoleh SBKRI yang dialami warga etnis Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari adanya perjanjian antara pemerintah China (dulu RRT) dengan pemerintah RI pada 22 April 1955 tentang Dwi Kewarganegaraan.
Perjanjian yang ditandatangi Perdana Menteri RRT Chou En Lai
dengan Perdana Menteri RI Sunario yang intinya soal kewarganegaraan warga Tionghoa di Indonesia tetap menggunakan asas "ius sanguinis" (kewarganegaraan setiap anak lahir menurut garis keturunan ayah).
Menyusul perjanjian tersebut, pemerintah RI kemudian menerbitkan sejumlah produk hukum, satu di antaranya Peraturan Presiden Nomer 10 tahun 1959 mengenai masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa.
Dampak dari keluarnya PP No.10/1959 itu, seperti diungkapkan Ketua Umum DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) Dr Rosita Sofjan Noer MA, ratusan ribu warga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia beramai-ramai mendaftarkan diri untuk meninggalkan RI.
"Secara hukum mereka seharusnya masih diberikan kesempatan menentukan pilihannya, sesuai perjanjian dwi kewarganegaraan (UU Nomer 2/1958) yang opsinya berlaku 1960 hingga 1962. Tapi kebanyakan dari mereka memilih meninggalkan Indonesia," katanya.
Terkait dengan masalah kewarganegaraan, berdasarkan hukum ketatanegaraan setiap negara secara berbeda menetapkan atau mengatur kewarganegaraan berdasarkan asas yang disesuaikan dengan kepentingan negara yang bersangkutan.
Asas "ius soli" menyatakan setiap anak yang lahir menjadi warga negara dari negara tempat kelahiran, contoh negara yang menganut asas ini adalah Amerika Serikat.
Kemudian asas "ius sanguinis" yang menyebutkan setiap anak yang lahir menjadi warga negara menurut garis keturunan ayah dan RRT (China) dulu pernah menerapkan asas ini.
Yang lain yakni asas "campuran" artinya kewarganegaraan menurut garis keturunan ayah dengan tetap menerima kelahiran sebagai pengecualian. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut asas campuran ini.
Ius Soli
Berkaitan rencana disahkannya RUU Kewarganegaraan, sejumlah kalangan menilai asas ius soli adalah yang paling pas diterapkan di Indonesia dibanding asas lainnya yakni ius sanguinis dan campuran.
Ketua Umum DPP FKKB Rosita Noer mengemukakan RUU Kewarganegaraan yang saat ini sedang digodok DPR harus lebih tegas dalam menentukan kewarganegaraan seseorang.
"FKKB mengusulkan agar penentuan status tersebut berdasarkan asas 'ius soli' (tempat kelahiran)," kata Rosita dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan.
Menurut Rosita, menengok pengalaman sejarah yang terjadi di Indonesia dan kesadaran bahwa kita hidup di tengah masyarakat dunia, seharusnya tidak ada lagi sekat-sekat dalam pergaulan masyarakat dunia.
Dari asas-asas kewarganegaraan yang ada, kata Rosita, kiranya asas "ius soli" (di mana anak tersebut dilahirkan) lebih tepat dibanding asas lainnya dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. "Hal ini juga dikaitkan dengan bentuk negara kita yang terdiri dari kepulauan dan terletak di kawasan perdagangan dunia serta kemajemukan penduduknya yang terdiri dari bermacam suku bangsa," tambahnya.
Dikatakannya, Indonesia masih terus berkewajiban merealisasikan "nation and character building" di mana untuk itu diperlukan hukum yang adil, tegas dan transparan.
"Karena itu, Undang-Undang Kewarganegaraan nantinya bisa sebagai 'test case' pertama untuk mewujudkan hal itu," tegasnya.
Mengenai masalah kewarganegaraan tersebut, Ketua MPR RI Amien Rais saat menjadi pembicara pada diskusi terbatas "Peran Masyarakat Tionghoa dan Kontribusinya dalam Membangun Negara RI", di Surabaya, Sabtu (2/11) juga menyatakan setuju dengan langkah FKKB yang memperjuangkan asas ius soli untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.
Menurut Amien Rais, negara ini sudah semestinya memberikan status kewarganegaraan seseorang, terutama etnis Tionghoa berdasarkan tempat kelahiran.
baca juga : http://caramengatasimasalahh.blogspot.com/2013/08/turunan-dua-masalah-dengan-satu-tema.html
"Apalagi, saat ini peran mereka baik di pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan juga sudah seimbang dengan masyarakat pada umumnya," katanya.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Dr Lukas Musianto yang juga menjadi narasumber dalam seminar tersebut sependapat apabila asas ius soli dipakai untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.
Menurut ia, unsur ius soli, tempat dan eksternal sangat dominan daripada unsur internal sehingga menghubungkan keturunan dengan interaksi-interaksi adalah sesuatu yang tidak tepat.
"Mengingat situasi sosiologis yang ada, asas ius soli lebih
tepat digunakan untuk menentukan status kewarganegaraan. Sebaliknya, dasar keturunan hanyalah menimbulkan perpecahan, kejanggalan atau ketertinggalan sejarah," katanya.
Ketua Komisi II (bidang hukum) DPR RI, A Teras Narang SH dalam kesempatan sama berpendapat memang harus ada perubahan yang cukup mendasar dalam UU Kewarganegaraan di masa mendatang.
Menurut ia, yang perlu diingat adalah menghindari penggunaan
istilah penduduk asli atau bangsa Indonesia asli karena tidak sesuai dengan hasil amandemen UUD 1945 yang membedakan penduduk antara WNI dan orang asing (WNA).
Sementara untuk golongan etnis Tionghoa, lanjut Teras Narang, proses kewarganegaraan tidak hanya didasarkan pada kelahiran dan pewarganegaraan seperti yang ada sekarang, tetap perlu juga dipertimbangkan melalui cara registrasi.
Selain mempermudah peranakan etnis Tionghoa yang sungguh-sungguh ingin mendapatkan status sebagai WNI, juga dapat diterapkan bagi anak orang Indonesia yang orang tuanya telah lama tinggal di luar negeri, tetapi tidak mengubah status kewarganegaraan.
"Tapi prosedur registrasi menjadi WNI harus dipermudah, tidak berbelit-belit, murah dan transparan, tidak seperti saat proses naturalisasi dulu," katanya. (ant)
[Opini]
Oleh Didik Kusbiantoro
BEBERAPA waktu lalu, pebulutangkis asal Malang, Jawa Timur dan mantan juara dunia, Hendrawan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terkesima dan terharu, bukan karena prestasinya tapi karena kasus status kewarganegaraan yang dihadapinya.
Sekian lama mengurus status kewarganegaraan, pebulutangkis yang menjadi penentu kemenangan tim Piala Thomas Indonesia atas Malaysia di Ghuangzou China itu tidak juga mendapatkan haknya, kendati jalur birokrasi telah dilaluinya.
Kabar kesulitan yang dialami Wawan (panggilan akrab Hendrawan) sempat didengar Presiden Megawati Soekarnoputri yang sedikit berang dan kemudian memerintahkan para bawahannya menyelesaikan masalah tersebut.
Hanya dalam waktu satu hari setelah perintah orang nomer satu di Indonesia itu turun, status kewarganegaraan Hendrawan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) selesai.
Kasus kesulitan memperoleh status kewarganegaraan yang dialami Hendrawan merupakan salah satu dari banyak kasus yang dialami warga lainnya, terutama etnis Tionghoa.
Meski mereka sudah puluhan tahun, bahkan nenek moyangnya tinggal di Indonesia, namun hak memperoleh status WNI agaknya masih sulit didapat.
Beruntunglah Hendrawan yang memiliki prestasi bulutangkis luar biasa dan beberapa kali mengharumkan nama bangsa di pentas internasional, sehingga mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk mengurus status WNI-nya--kendati sebelumnya juga berbelit-belit.
Lalu bagaimana dengan warga etnis Tionghoa lainnya yang tidak memiliki kelebihan seperti Hendrawan, tentu harus rela melalui jalur birokrasi yang panjang sebelum memperoleh pengakuan sebagai WNI.
Dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan di Surabaya, Senin (4/11), masalah status kewarganegaraan menjadi topik pembicaraan yang serius menyusul rencana disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan.
Henry Darmawan, salah seorang peserta seminar sempat mengungkapkan kembali kasus kesulitan memperoleh SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang dialami Hendrawan akibat tidak beresnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
"Masak orang seperti Hendrawan yang telah mati-matian membela nama Indonesia di berbagai kejuaraan bulutangkis, masih diragukan kewarganegaraannya dan dimintai SBKRI," katanya.
Aturan lama
Masalah kesulitan memperoleh SBKRI yang dialami warga etnis Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari adanya perjanjian antara pemerintah China (dulu RRT) dengan pemerintah RI pada 22 April 1955 tentang Dwi Kewarganegaraan.
Perjanjian yang ditandatangi Perdana Menteri RRT Chou En Lai
dengan Perdana Menteri RI Sunario yang intinya soal kewarganegaraan warga Tionghoa di Indonesia tetap menggunakan asas "ius sanguinis" (kewarganegaraan setiap anak lahir menurut garis keturunan ayah).
Menyusul perjanjian tersebut, pemerintah RI kemudian menerbitkan sejumlah produk hukum, satu di antaranya Peraturan Presiden Nomer 10 tahun 1959 mengenai masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa.
Dampak dari keluarnya PP No.10/1959 itu, seperti diungkapkan Ketua Umum DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) Dr Rosita Sofjan Noer MA, ratusan ribu warga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia beramai-ramai mendaftarkan diri untuk meninggalkan RI.
"Secara hukum mereka seharusnya masih diberikan kesempatan menentukan pilihannya, sesuai perjanjian dwi kewarganegaraan (UU Nomer 2/1958) yang opsinya berlaku 1960 hingga 1962. Tapi kebanyakan dari mereka memilih meninggalkan Indonesia," katanya.
Terkait dengan masalah kewarganegaraan, berdasarkan hukum ketatanegaraan setiap negara secara berbeda menetapkan atau mengatur kewarganegaraan berdasarkan asas yang disesuaikan dengan kepentingan negara yang bersangkutan.
Asas "ius soli" menyatakan setiap anak yang lahir menjadi warga negara dari negara tempat kelahiran, contoh negara yang menganut asas ini adalah Amerika Serikat.
Kemudian asas "ius sanguinis" yang menyebutkan setiap anak yang lahir menjadi warga negara menurut garis keturunan ayah dan RRT (China) dulu pernah menerapkan asas ini.
Yang lain yakni asas "campuran" artinya kewarganegaraan menurut garis keturunan ayah dengan tetap menerima kelahiran sebagai pengecualian. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut asas campuran ini.
Ius Soli
Berkaitan rencana disahkannya RUU Kewarganegaraan, sejumlah kalangan menilai asas ius soli adalah yang paling pas diterapkan di Indonesia dibanding asas lainnya yakni ius sanguinis dan campuran.
Ketua Umum DPP FKKB Rosita Noer mengemukakan RUU Kewarganegaraan yang saat ini sedang digodok DPR harus lebih tegas dalam menentukan kewarganegaraan seseorang.
"FKKB mengusulkan agar penentuan status tersebut berdasarkan asas 'ius soli' (tempat kelahiran)," kata Rosita dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan.
Menurut Rosita, menengok pengalaman sejarah yang terjadi di Indonesia dan kesadaran bahwa kita hidup di tengah masyarakat dunia, seharusnya tidak ada lagi sekat-sekat dalam pergaulan masyarakat dunia.
Dari asas-asas kewarganegaraan yang ada, kata Rosita, kiranya asas "ius soli" (di mana anak tersebut dilahirkan) lebih tepat dibanding asas lainnya dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. "Hal ini juga dikaitkan dengan bentuk negara kita yang terdiri dari kepulauan dan terletak di kawasan perdagangan dunia serta kemajemukan penduduknya yang terdiri dari bermacam suku bangsa," tambahnya.
Dikatakannya, Indonesia masih terus berkewajiban merealisasikan "nation and character building" di mana untuk itu diperlukan hukum yang adil, tegas dan transparan.
"Karena itu, Undang-Undang Kewarganegaraan nantinya bisa sebagai 'test case' pertama untuk mewujudkan hal itu," tegasnya.
Mengenai masalah kewarganegaraan tersebut, Ketua MPR RI Amien Rais saat menjadi pembicara pada diskusi terbatas "Peran Masyarakat Tionghoa dan Kontribusinya dalam Membangun Negara RI", di Surabaya, Sabtu (2/11) juga menyatakan setuju dengan langkah FKKB yang memperjuangkan asas ius soli untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.
Menurut Amien Rais, negara ini sudah semestinya memberikan status kewarganegaraan seseorang, terutama etnis Tionghoa berdasarkan tempat kelahiran.
baca juga : http://caramengatasimasalahh.blogspot.com/2013/08/turunan-dua-masalah-dengan-satu-tema.html
"Apalagi, saat ini peran mereka baik di pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan juga sudah seimbang dengan masyarakat pada umumnya," katanya.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Dr Lukas Musianto yang juga menjadi narasumber dalam seminar tersebut sependapat apabila asas ius soli dipakai untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.
Menurut ia, unsur ius soli, tempat dan eksternal sangat dominan daripada unsur internal sehingga menghubungkan keturunan dengan interaksi-interaksi adalah sesuatu yang tidak tepat.
"Mengingat situasi sosiologis yang ada, asas ius soli lebih
tepat digunakan untuk menentukan status kewarganegaraan. Sebaliknya, dasar keturunan hanyalah menimbulkan perpecahan, kejanggalan atau ketertinggalan sejarah," katanya.
Ketua Komisi II (bidang hukum) DPR RI, A Teras Narang SH dalam kesempatan sama berpendapat memang harus ada perubahan yang cukup mendasar dalam UU Kewarganegaraan di masa mendatang.
Menurut ia, yang perlu diingat adalah menghindari penggunaan
istilah penduduk asli atau bangsa Indonesia asli karena tidak sesuai dengan hasil amandemen UUD 1945 yang membedakan penduduk antara WNI dan orang asing (WNA).
Sementara untuk golongan etnis Tionghoa, lanjut Teras Narang, proses kewarganegaraan tidak hanya didasarkan pada kelahiran dan pewarganegaraan seperti yang ada sekarang, tetap perlu juga dipertimbangkan melalui cara registrasi.
Selain mempermudah peranakan etnis Tionghoa yang sungguh-sungguh ingin mendapatkan status sebagai WNI, juga dapat diterapkan bagi anak orang Indonesia yang orang tuanya telah lama tinggal di luar negeri, tetapi tidak mengubah status kewarganegaraan.
"Tapi prosedur registrasi menjadi WNI harus dipermudah, tidak berbelit-belit, murah dan transparan, tidak seperti saat proses naturalisasi dulu," katanya. (ant)