kenali penyebabnya ;
Lima Hal Penyebab Korupsi Menurut Mantan Pimpinan KPK
Mantan pimpinan KPK Bibit S Rianto menilai ada lima hal penyebab korupsi. Hal pertama adalah sistem birokrasi yang masih korupsi
" Berdalih macem-macem begitu tertangkap dan ada alat bukti pertanggungjawabkan. Sistem politik, hukum dan ekonomi, masih koruptif. Masih ada ijin-ijin ada waktu luang penguasa dan pengusaha menyatu," ujar Bibit, Minggu (3/2/2013).
Hal yang kedua adalah sistem hukum yang belum kuat dan tegas. "KUHAP dibaca SUAP jadinya ada markus dimana-mana sistemnya sistem korup," kata Bibit.
Hal ketiga adalah penghasilan yang besar. Semakin kaya seorang pejabat, Bibit menilai semakin banyak pejabat tersebut korupsi. "200 juta supaya nggak korup, tp renumerasi dan kewenangan, punya hak untuk membuat orang ketar ketir, moralnya jelek tapi kerjanya bagus," jelas Bibit.
Tiga Penyebab Korupsi Versi SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan munculnya korupsi disebabkan oleh tiga hal yang saling mengait satu sama lain. Pertama, korupsi terjadi karena ada niat dari pelakunya.
"Ada pikiran, ada kehendak untuk melakukan korupsi. Itu nomor satu," kata SBY dalam acara penandatanganan komitmen bersama peningkatan akuntabilitas keuangan negara di gedung Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2014.
Kedua, menurut SBY, korupsi terjadi karena ada kesempatan untuk melakukannya. "Kemudian yang ketiga, bisa terjadi manakala ada celah-celah kelemahan. Apakah berkaitan dengan sistem, aturan perundang-undangan, ataupun peraturan turunan," ujarnya.
Karena itu, kata SBY, solusi memberantas korupsi harus berkaitan dengan tiga penyebab tindakan rasuah itu. Pertama, pemerintah mesti memastikan dan mengingatkan agar tidak ada niat dan pikiran dari siapa pun untuk melakukan korupsi.
Menurut dia, negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan aparat pemerintah, misalnya pegawai negeri. "Itu juga bagian dari meniadakan niat untuk melakukan penyimpangan, niat untuk mengambil, karena mereka memiliki gaji dan penghasilan yang lebih besar dari waktu ke waktu, tentu sesuai dengan kemampuan negara."
Tujuh Sebab Korupsi Marak dan Kesalahan Masyarakat
Pertama, masyarakat kebanyakan silau akan harta benda dan mendukung perbuatan korupsi dalam bentuk menghormati para koruptor yang telah keluar dari penjara. Hingga para koruptor itu menganggap perbuatan mencuri uang negara sebagai investasi masa tua.
Kedua, hukuman ringan dan bahkan dibebaskan terhadap koruptor tak menimbulkan efek jera bagi koruptor sama sekali.
Ketiga, para koruptor itu lupa tentang esensi keimanan. Yang mereka inginkan adalah memenuhi nafsu hati dalam segala keadaan hati sebagai pusat perasaan atau emosi: senang, sedih, bahagia, benci, kesal, kecewa, cinta dan sebagainya, yang jauh dari ketenangan jiwa. Lalu bagaimana keimanan para koruptor sebenarnya sehingga bisa begitu tega? Mari kita tengok dengan pemahaman keimanan sesusai dengan ajaran Al Qur’an dan kemanusiaan.
Keempat, jiwa tak tenang dan meranggas. Tujuan manusia hidup adalah untuk menyembah Allah SWT. Penyembahan dan perbuatan ubudiyah itu dilakukan dengan kesadaran keimanan tingkat tingggi dalam bentuk berserah diri pada Allah SWT. Kepasrahan yang kaffah dan total merupakan bentuk iman tertinggi. Keimanan penuh itu harus merasuk dalam jiwa, karena hakikat tujuan beribadah adalah untuk pembebasan jiwa: menuju jiwa yang tenang yang disapa oleh Allah.
Kelima, iman yang terperangkap di hati. Senyatanya, justru kebanyakan orang memasukkan iman hanya sampai ke dalam hati. Jiwa tidak pernah dilayani. Banyak aktivitas ibadah yang memang mampu melembutkan hati seperti membaca Al Qur’an, mendengarkan orang membaca Al Qur’an - bahan membaca puisi dan mendengarkan lagu. Fungsi jiwa sebagai pengendali dan tuan bagi hati terlupakan, hingga hati menguasai jiwa. Hati menjadi penguasa atas jiwa.
Keenam, jiwa dikuasai oleh hati. Penguasaan dan perampasan fungsi jiwa sebagai pengendali hati hilang di tengah ‘kenikmatan hati’ melayani diri sendiri dan melupakan jiwa. Hal ini disebabkan oleh ‘keasyikan’ dalam membina hati dengan melupakan esensi dan cara ibadah yang mengubah jiwa. Amal dan perbuatan yang dianggap melayani jiwa - karena mampu mengubah karakter dasar jiwa yang sebenarnya adalah tempat iman harus berada - selalu bertumpu pada perbuatan untuk orang lain.
Contohnya, ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat diperuntukkan bagi orang lain. Anak sholeh yang mendoakan orang tua juga diperuntukkan bagi orang di luar dirinya. Amal jariah pun juga dilakukan oleh orang lain dan untuk kemaslahatan dan kebaikan orang lain; bermanfaat bagi orang lain.
Ketujuh, melupakan ibadah dan hubungan dengan manusia lain dengan empati. Fakta di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa ibadah paling esensial adalah dalam wujud melayani jiwa yang terkait dengan orang lain. Hablum minnannas - hubungan peribadatan dan kebaikan dalam berhubungan dengan liyan, dengan sesama manusia - menjadi titik pusat dari ibadah. Manusia harus bermanfaat bagi orang lain sebagai buah dari keimanan dalam jiwa kepada Allah SWT. Iman tanpa membuahkan hasil biasanya adalah iman yang pusatnya ada di dalam hati - bukan iman di dalam jiwa. Para koruptor justru lupa hal ini dan kehilangan empati dan kepedulian kepada sesama manusia.
MUNGKIN sebagian orang berpendapat bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa namun benarkah korupsi telah menjadi bagian dari budaya Indonesia?
Dewasa ini, korupsi memang telah menjadi persoalan yang rumit di Indonesia karena dilakukan secara sitematis. Hal ini dapat kita lihat secara nyata lewat berita-berita korupsi yang hilang ditengah jalan dan tak tahu bagaimana kelanjutannya karena menyangkut orang-orang berkuasa, sebut saja kasus Hambalang, BLBI, Century yang hingga kini belum menemukan titik akhir.
Jika kita melihat sejarah, korupsi, kolusi dan nepotisme sudah terjadi, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Berawal sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan karena tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak mungkin, pada masa itu korupsi dan kolusi pun mulai merebak, seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja yang bekuasa.
Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa dilakukan, ada enam peraturan tentang tanam paksa yang kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami tanaman wajib yaitu 1/5 tanah penduduk tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga aparaturnya yang termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini merupakan tindak korupsi.
Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa kita telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa kita tetap belum merdeka dari korupsi. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi bernama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp11 miliar, harus dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise presiden yang mengetuai badan tersebut.
Benarkah Korupsi Merupakan Budaya?
Masih Adakah Solusi untuk Korupsi?
Oleh : Fitriana Lucky.U
Mengenai korupsi tidak lepas dengan sebutan tikus bagi koruptor. Sebutan bagi koruptor itu tikus,karena tikus memiliki banyak cara untuk mengambil sebuah keju yang ada di atas meja makan dengan cara melalui jalan yang memiliki celah-celah kecil menuju meja makan ,ibaratnya keju adalah sebuah kekuasaan atau tahta yang harus di miliki oleh tikus pemerintah sama halnya dengan korupsi yang suka bermain di bawah meja. Korupsi sudah menjadi penyakit bagi pejabat-pejabat pemerintah yang sulit di sembuhkan. Tidak mudah menghilangkan virus-virus korupsi yang sudah tersebar lingkungan pemerintah.
Mungkin menurut pejabat-pejabat tinggi, korupsi sudah menjadi hal yang biasa. Korupsi tidak hanya ada di lingkungan pemerintahan, di lingkungan sekolah dan kerja itu pun bisa terjadi , jika di selidiki lebih teliti. Mana ada orang di dunia ini yang tidak tergiur dengan uang apalagi uang yang berjumlah puluhan juta bahkan milliaran rupiah ,inilah yang pemicu terjadinya korupsi ,karena setiap orang tergoda menjadi rakus akan uang. Ketika seseorang memasuki di dunia politik akan terbius dengan kata korupsi,dimana harta,tahta di peroleh dengan berbagai cara. Terjadinya korupsi dengan munculnya motivator, sehingga ada dorongan untuk melakukan korupsi.
Kemanakah perhatian pemerintah kepada rakyat?
Masih pedulikah kepada rakyat kecil?
Pencegahan. Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
Penegakan Hukum. Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan
common practice yang terdapat pada negara-negara lain.
Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.
+Rinal Purba
sebelumnya
Lima Hal Penyebab Korupsi Menurut Mantan Pimpinan KPK
Mantan pimpinan KPK Bibit S Rianto menilai ada lima hal penyebab korupsi. Hal pertama adalah sistem birokrasi yang masih korupsi
" Berdalih macem-macem begitu tertangkap dan ada alat bukti pertanggungjawabkan. Sistem politik, hukum dan ekonomi, masih koruptif. Masih ada ijin-ijin ada waktu luang penguasa dan pengusaha menyatu," ujar Bibit, Minggu (3/2/2013).
Hal yang kedua adalah sistem hukum yang belum kuat dan tegas. "KUHAP dibaca SUAP jadinya ada markus dimana-mana sistemnya sistem korup," kata Bibit.
Hal ketiga adalah penghasilan yang besar. Semakin kaya seorang pejabat, Bibit menilai semakin banyak pejabat tersebut korupsi. "200 juta supaya nggak korup, tp renumerasi dan kewenangan, punya hak untuk membuat orang ketar ketir, moralnya jelek tapi kerjanya bagus," jelas Bibit.
Tiga Penyebab Korupsi Versi SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan munculnya korupsi disebabkan oleh tiga hal yang saling mengait satu sama lain. Pertama, korupsi terjadi karena ada niat dari pelakunya.
"Ada pikiran, ada kehendak untuk melakukan korupsi. Itu nomor satu," kata SBY dalam acara penandatanganan komitmen bersama peningkatan akuntabilitas keuangan negara di gedung Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2014.
Kedua, menurut SBY, korupsi terjadi karena ada kesempatan untuk melakukannya. "Kemudian yang ketiga, bisa terjadi manakala ada celah-celah kelemahan. Apakah berkaitan dengan sistem, aturan perundang-undangan, ataupun peraturan turunan," ujarnya.
Karena itu, kata SBY, solusi memberantas korupsi harus berkaitan dengan tiga penyebab tindakan rasuah itu. Pertama, pemerintah mesti memastikan dan mengingatkan agar tidak ada niat dan pikiran dari siapa pun untuk melakukan korupsi.
Menurut dia, negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan aparat pemerintah, misalnya pegawai negeri. "Itu juga bagian dari meniadakan niat untuk melakukan penyimpangan, niat untuk mengambil, karena mereka memiliki gaji dan penghasilan yang lebih besar dari waktu ke waktu, tentu sesuai dengan kemampuan negara."
Tujuh Sebab Korupsi Marak dan Kesalahan Masyarakat
Pertama, masyarakat kebanyakan silau akan harta benda dan mendukung perbuatan korupsi dalam bentuk menghormati para koruptor yang telah keluar dari penjara. Hingga para koruptor itu menganggap perbuatan mencuri uang negara sebagai investasi masa tua.
Kedua, hukuman ringan dan bahkan dibebaskan terhadap koruptor tak menimbulkan efek jera bagi koruptor sama sekali.
Ketiga, para koruptor itu lupa tentang esensi keimanan. Yang mereka inginkan adalah memenuhi nafsu hati dalam segala keadaan hati sebagai pusat perasaan atau emosi: senang, sedih, bahagia, benci, kesal, kecewa, cinta dan sebagainya, yang jauh dari ketenangan jiwa. Lalu bagaimana keimanan para koruptor sebenarnya sehingga bisa begitu tega? Mari kita tengok dengan pemahaman keimanan sesusai dengan ajaran Al Qur’an dan kemanusiaan.
Keempat, jiwa tak tenang dan meranggas. Tujuan manusia hidup adalah untuk menyembah Allah SWT. Penyembahan dan perbuatan ubudiyah itu dilakukan dengan kesadaran keimanan tingkat tingggi dalam bentuk berserah diri pada Allah SWT. Kepasrahan yang kaffah dan total merupakan bentuk iman tertinggi. Keimanan penuh itu harus merasuk dalam jiwa, karena hakikat tujuan beribadah adalah untuk pembebasan jiwa: menuju jiwa yang tenang yang disapa oleh Allah.
Kelima, iman yang terperangkap di hati. Senyatanya, justru kebanyakan orang memasukkan iman hanya sampai ke dalam hati. Jiwa tidak pernah dilayani. Banyak aktivitas ibadah yang memang mampu melembutkan hati seperti membaca Al Qur’an, mendengarkan orang membaca Al Qur’an - bahan membaca puisi dan mendengarkan lagu. Fungsi jiwa sebagai pengendali dan tuan bagi hati terlupakan, hingga hati menguasai jiwa. Hati menjadi penguasa atas jiwa.
Keenam, jiwa dikuasai oleh hati. Penguasaan dan perampasan fungsi jiwa sebagai pengendali hati hilang di tengah ‘kenikmatan hati’ melayani diri sendiri dan melupakan jiwa. Hal ini disebabkan oleh ‘keasyikan’ dalam membina hati dengan melupakan esensi dan cara ibadah yang mengubah jiwa. Amal dan perbuatan yang dianggap melayani jiwa - karena mampu mengubah karakter dasar jiwa yang sebenarnya adalah tempat iman harus berada - selalu bertumpu pada perbuatan untuk orang lain.
Contohnya, ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat diperuntukkan bagi orang lain. Anak sholeh yang mendoakan orang tua juga diperuntukkan bagi orang di luar dirinya. Amal jariah pun juga dilakukan oleh orang lain dan untuk kemaslahatan dan kebaikan orang lain; bermanfaat bagi orang lain.
Ketujuh, melupakan ibadah dan hubungan dengan manusia lain dengan empati. Fakta di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa ibadah paling esensial adalah dalam wujud melayani jiwa yang terkait dengan orang lain. Hablum minnannas - hubungan peribadatan dan kebaikan dalam berhubungan dengan liyan, dengan sesama manusia - menjadi titik pusat dari ibadah. Manusia harus bermanfaat bagi orang lain sebagai buah dari keimanan dalam jiwa kepada Allah SWT. Iman tanpa membuahkan hasil biasanya adalah iman yang pusatnya ada di dalam hati - bukan iman di dalam jiwa. Para koruptor justru lupa hal ini dan kehilangan empati dan kepedulian kepada sesama manusia.
MUNGKIN sebagian orang berpendapat bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa namun benarkah korupsi telah menjadi bagian dari budaya Indonesia?
Dewasa ini, korupsi memang telah menjadi persoalan yang rumit di Indonesia karena dilakukan secara sitematis. Hal ini dapat kita lihat secara nyata lewat berita-berita korupsi yang hilang ditengah jalan dan tak tahu bagaimana kelanjutannya karena menyangkut orang-orang berkuasa, sebut saja kasus Hambalang, BLBI, Century yang hingga kini belum menemukan titik akhir.
Jika kita melihat sejarah, korupsi, kolusi dan nepotisme sudah terjadi, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Berawal sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan karena tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak mungkin, pada masa itu korupsi dan kolusi pun mulai merebak, seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja yang bekuasa.
Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa dilakukan, ada enam peraturan tentang tanam paksa yang kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami tanaman wajib yaitu 1/5 tanah penduduk tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga aparaturnya yang termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini merupakan tindak korupsi.
Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa kita telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa kita tetap belum merdeka dari korupsi. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi bernama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp11 miliar, harus dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise presiden yang mengetuai badan tersebut.
Benarkah Korupsi Merupakan Budaya?
Masih Adakah Solusi untuk Korupsi?
Oleh : Fitriana Lucky.U
Mengenai korupsi tidak lepas dengan sebutan tikus bagi koruptor. Sebutan bagi koruptor itu tikus,karena tikus memiliki banyak cara untuk mengambil sebuah keju yang ada di atas meja makan dengan cara melalui jalan yang memiliki celah-celah kecil menuju meja makan ,ibaratnya keju adalah sebuah kekuasaan atau tahta yang harus di miliki oleh tikus pemerintah sama halnya dengan korupsi yang suka bermain di bawah meja. Korupsi sudah menjadi penyakit bagi pejabat-pejabat pemerintah yang sulit di sembuhkan. Tidak mudah menghilangkan virus-virus korupsi yang sudah tersebar lingkungan pemerintah.
Mungkin menurut pejabat-pejabat tinggi, korupsi sudah menjadi hal yang biasa. Korupsi tidak hanya ada di lingkungan pemerintahan, di lingkungan sekolah dan kerja itu pun bisa terjadi , jika di selidiki lebih teliti. Mana ada orang di dunia ini yang tidak tergiur dengan uang apalagi uang yang berjumlah puluhan juta bahkan milliaran rupiah ,inilah yang pemicu terjadinya korupsi ,karena setiap orang tergoda menjadi rakus akan uang. Ketika seseorang memasuki di dunia politik akan terbius dengan kata korupsi,dimana harta,tahta di peroleh dengan berbagai cara. Terjadinya korupsi dengan munculnya motivator, sehingga ada dorongan untuk melakukan korupsi.
Kemanakah perhatian pemerintah kepada rakyat?
Masih pedulikah kepada rakyat kecil?
Pencegahan. Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
Penegakan Hukum. Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan
common practice yang terdapat pada negara-negara lain.
Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik.
+Rinal Purba
sebelumnya
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
BalasHapussedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan KYAI SANJAYA, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SANJAYA
kata Pak kiyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SANJAYA Di Tlp 082399986107 atau klik disini
berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur, saya sendiri dulu
hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik, jika ingin
seperti saya coba hubungi KYAI SANJAYA pasti akan di bantu Oleh Beliau